Sunday, November 28, 2010

Tak Seindah Surga

Manusia seringkali berimajinasi tentang kehidupan lain. Seorang yang lapar merindukan makanan berlimpah. Seorang yang hidup di negeri yang terus dirundung perang mengimpikan kedamaian. Seorang bocah bercita-cita menjadi orang dewasa. Seorang yang didera tekanan pekerjaan mendambakan liburan ke negeri-negeri eksotis. Semua orang pasti pernah bermimpi mengunjungi tempat-tempat berbeda, merasakan fragmen kehidupan, mencicip keterasingan.

Itulah hakikat sebuah perjalanan: sejenak melepaskan identitas yang sehari-hari membelenggu diri, menjadi seorang asing di tempat yang sama sekali asing,  keluar dari rutinitas kehidupan, serta mendapat keistimewaan untuk mengamati dan meresapi kehidupan orang lain. 

Dan dari sana pulalah perjalanan mengajarkan suatu hal yang teramat berharga bagi kita: kehidupan di luar sana itu ternyata tidaklah selalu indah. Ke mana pun kita melangkah, kita menyaksikan bagaimana manusia dari beragam negeri dan budaya, sama-sama berjuang demi kehidupan. Manusia, dengan berbagai norma dan pemikiran, sama-sama punya mimpi dan cita-cita. Manusia dengan segala perbedaan dan keanekaragaman, sebenarnya punya hakikat yang sama.

Ketika perjalanan membawa kita ke berbagai pelosok bumi, membuka mata kita akan berbagai realita, maka bisa dikatakan bahwa perjalanan itu telah mengubah diri kita.

Saya yakin, itulah perjalanan yang mengubah Indrawan dan Widyastuti. Tak semua punya kesempatan seperti mereka, bisa melihat sendiri bagaimana pergulatan manusia menjalani kehidupan yang berbeda, mulai dari Kalimantan, Malaysia, Brunei Darusallam, hingga Filipina, Hong Kong, dan Makau. Berbagai fragmen kehidupan yang membuat mereka tersadar akan sebuah realita, bahwa manusia di negeri-negeri berbeda juga bergulat untuk hari esok dan impian.

Perjalanan, dengan berbagai kisahnya, membuat kita terpesona akan berbagai cerita orang-orang dengan kisah hidup mereka. Pahit, karena banyak dari mereka yang terpinggirkan oleh roda zaman. Getir, karena ada keputusasaan dari runtuhan kebanggaan. Manis, karena mereka masih berjuang demi secuil impian. Berbagai kisah dan warna hidup diracik dengan indah oleh sentuhan seni dan karya visual yang dihasilkan oleh pasangan ini.

Saya terpukau oleh lukisan campur aduknya sebuah sudut slum di Manila. Di tengah semrawutnya hingar bingar pembangunan manusia yang dengan tanpa belas kasihan menggilas dan meminggirkan sebagian manusia yang tersisihkan, ternyata masih ada keriangan anak-anak yang bermain dan menikmati hidup. Ya, itulah sebuah kisah hidup! Ironi adalah warna kehidupan yang kita jalani.

Di tengah kehidupan kita yang penuh ironi ini, masih adakah kepedulian kita untuk sekedar merenungi ironi itu? Perjalanan mengajarkan sang musafir untuk merenungkan arti kehidupan, walaupun tidak semua pelaku perjalanan ternyata mendapat ilham yang sama. 

Menyaksikan berbagai karya yang dihasilkan oleh kepedulian dan cinta dari Indrawan dan Widyastuti, membuat saya tersadar bahwa setiap orang mungkin dikaruniai mata dan telinga yang sama fungsinya, tetapi tidak setiap pelaku perjalanan dikaruniai hati dan perasaan yang sama pekanya untuk meraba berbagai kisah hidup di sekitar mereka. Kita mungkin menyaksikan slum yang sama, merasakan kekotoran dan kepengapan yang sama, tetapi kita mungkin tidak menemukan semangat ,kegembiraan, dan impian yang disuarakan oleh tawa riang bocah-bocah jalanan. Kita mungkin melihat kawasan prostitusi yang sama remang-remangnya, tetapi kita mungkin tidak mampu memahami perjuangan para pekerja seks di sana dalam menghadapi tekanan hidup dan kehinaan dari cibiran masyarakat. Kita mungkin terpukau oleh kemegahan dan kemakmuran gedung-gedung modern di kota metropolis, tetapi kita mungkin terlupa bagaimana perjuangan tenaga kerja yang bekerja siang malam hanya demi beberapa lembar dolar.

Itulah hidup yang penuh ironi. Itulah hidup yang tak seindah surga dan imajinasi.

Dalam pameran ini, melalui oret-oretan dan jepretan kamera pasangan ini, kita diajak untuk merasakan berbagai warna kehidupan. Kita dibawa memahami dilema tenaga kerja asing di negeri tetangga, merasakan air mata pekerja seks, memuji keindahan slum yang kumuh, dan meresapi perjalanan peradaban manusia. Kita beruntung, boleh meminjam mata dan perasaan mereka yang begitu sensitif dalam meracik berbagai warna kehidupan dalam karya seni yang begitu indah. Dan semoga para penikmat pameran ini, seperti halnya saya, boleh merasakan syukur yang teramat dalam terhadap kehidupan yang kita jalani sekarang, dan boleh tergugah kepeduliannya akan mereka-mereka yang menjalani warna kehidupan yang berbeda.

Selamat menikmati perjalanan spiritual ini. Selamat menemukan warna kehidupan di dunia ini.

Travel Writer and Photographer

Monday, November 8, 2010

Indonesia : dan Insulinde


Setelah memutuskan untuk mengajukan pengunduran diri awal dari sebuah konsultan negeri Singa, saat ini disinilah saya berada. Kembali ke asal.

Sebuah tawaran menarik untuk mereka ulang perjalanan yang kami lalui diterima dengan senang hati. Beberapa catatan dari Indrawan dan sketsa perjalanan yang saya lakukan akhirnya bukan hanya menjadi sebuah wacana belaka.

First trial.
Salah satu bentuk kolase ingatan yang saya coba kumpulkan dalam selembar kertas. Sungguh ternyata tidak mudah menggabungkan jutaan ide yang bergelantungan di kepala. Pekerjaan mudah ini bahkan menghabiskan waktu sampai dua hari, untuk kemudian saya biarkan menggantung di dinding menanti inspirasi datang.
Green Sketch Book l
Merupakan kumpulan sketsa perjalanan dalam sebuah buku bersampul hijau yang kami beli di Kuala Lumpur Malaysia. Dibuat saat perjalanan dan dilakukan dimana saja. Cepat dan sangat menyenangkan.
The  Genealogy of 2 Centimeters
Demikian Indrawan menyebutnya. Sketsa tangan yang saya kumpulkan selama perjalanan, dikerat sebanyak dua sentimeter dari pinggir. Dengan kayu pinus bekas yang kami temukan di sebuah gudang kayu 
Bermain kuas dan warna
Area keluarga yang disulap menjadi studio mini. Biasanya saya akan bersila di bawah menyisakan noda-noda pada karpet, sedangkan Indrawan duduk manis di depan laptop diatas meja

Shiva Parvati
Digambar diatas kertas setebal 300 gram, mengisahkan tentang perempuan China yang berdoa dengan khusyuk di hadapan Siwa Parwati dalam kuil India, di Little India, Penang Island - Malaysia.
Acrylic Reunion
Merupakan pertemuan pertama saya setelah bertahun - tahun tidak berteman dengan cat akrilik. Pekerjaan menyenangkan yang menghabiskan waktu sekitar dua hari, sedangkan Indrawan berada di Jambi untuk perancangan ulang tempat pembuangan akhir (Landfill Redesign) 

The  Pondan Remedy, Kota Kinabalu
Terinspirasi oleh Tess, seorang waria yang kami temui di Filipino Market Kota Kinabalu. Pada mulanya saya ingin mengangkat Tess sedang berjualan ikan bakar di malam hari, namun terpikir sesaat sebelum 'perempuan' itu berangkat bekerja dan sedang bersolek. 
The  Stary Night Hong Kong
Hong Kong adalah salah satu tempat paling menakjubkan selama perjalanan kami. Gemerlap dan luar biasa mahal. Kami hidup hanya dengan mi instan di kedai dua empat jam dan juga air mineral gratisan dari Chungking Mansion yang fenomenal.
Tetap, kami menemukan kesenduan dari para warga pinggiran yang tidak cukup beruntung tertawa di bawah Symphony of Light.

The  Stary Night Hong Kong II
Ingat 'Minggu Pagi di Victoria Park' karya Lola Amaria?
Sungguh, Victoria Park adalah taman reuni warga Indonesia yang bekerja di sana, bhakn pengumuman disana dietak dalam tiga bahasa : Cantonese, Tagalog dan Bahasa Indonesia. Saat itu hujan besar di Victoria Park, dan kami berteduh di antara pepohonan dan kios makanan, seraya samar - samar mendengar pembicaraan dalam bahasa Jawa yang kental.
Miri One Night Stop 
Tidak sampai duapuluh empat jam kami singgah di Miri. Tinggal di daerah pelacuran yang berdekatan dengan pasar ikan juga kelenteng.
Digambar diatas kertas sketsa yang tipis, dengan kumpulan berita yang didapat Indrawan dari The Jakarta Post.


Akhir Oktober dan awal November,
semoga hari - ari kedepan cerah dari Sabang sampai Merauke.
Jogya ku jangan marah,
sampai bertemu disana..