Tuesday, January 19, 2010

Metro Manila: Legenda Urban, Ketakutan Kami, dan Kenyataannya

Quezon City, Metro Manila

Metro Room# 102
KG Street, Kamias


Pertama kali sampai di Quezon City, Metro Manila, pada pukul 7 malam.
Jalanan masih dipenuhi jeepney, bus, dan manusia – dua orang di antaranya adalah kami.
Hari yang terlanjur gelap untuk berputar-putar mencari tempat penginapan murah. Kami hanya mengandalkan alamat yang direferensikan dari internet di daerah Kamias, salah satu pasar tradisional di Filipina. Cukup mengagetkan karena polisi ataupun satpam selalu ada di hampir setiap 5 meter. Legenda urban mengatakan bahwa Metro Manila tidak begitu aman – sarang pencopet, teroris, dan kriminalitas – sehingga membutuhkan setidaknya seorang petugas keamanan, bahkan, untuk sebuah kios kelontong 7-11.
Ternyata kami beruntung, salah satu petugas keamanan tersebut mampu berbicara dalam bahasa Inggris. “Just go straight and turn left, you will find K-G street”, dia mengarahkan jalan menuju hostel pada kami dengan bahasa Inggris yang sangat baik dan dimengerti.
Sesampainya di penginapan – selesai mendaftarkan diri dan menyimpan lebih dari 30 kilogram barang bawaan – kami memaksakan diri untuk mengenali daerah di sekitar hostel dan melepaskan ketakutan dari legenda urban Metro Manila yang terlampau mencekam dengan menyusuri remang-remang pasar, pedagang kaki lima, dan jalur MRT, sekaligus mencari makan malam pengganjal perut yang telah bersuara kelaparan.

 
 
 
 

Perlahan kami berbicara dengan diri sendiri bahwa legenda urban tersebut tidak sepenuhnya benar. Pasar yang kami lalui adalah pasar dengan rupa yang sama dengan pasar-pasar di Indonesia tetapi tidak lebih becek dan menjual alkohol dengan terbuka dengan harga yang, cukup, miring. Pedagang kaki lima menjajakan berbagai makanan, mulai dari kacang-kacangan, soto tahu dan babi, hingga pizza dengan harga yang tentu saja jauh lebih murah. Lalu tentang MRT, kami merasa malu dengan kenyataan bahwa Indonesia belum memiliki kendaraan umum semacam ini dibandingkan dengan Manila (ataupun Bangkok).

Di atas itu semua, bagi saya yang dilahirkan dan tinggal di Jakarta, Quezon City terasa seperti rumah kedua.

0 comments:

Post a Comment